Injak kepalaku ini hai Bilal!
Demi Allah, kumohon injaklah!
Abu Dzar Al-Ghiffari meletakkan kepalanya di tanah berdebu. Dilumurkannya pasir ke wajahnya dan dia menunggu penuh harap terompah Bilal ibn Rabah segera mendarat di pelipisnya.
kumohon Bilal saudaraku, rintihnya
Injaklah wajahku. Demi Allah aku berharap dengannya Allah akan mengampuniku dan menghapuskan sifat jahiliyyah dari jiwaku.
Abu Dzar ingin sekali menangis. Isi hatinya bergumul campur aduk. Dia menyesal. Dia sedih. Dia takut. Dia marah pada dirinya sendiri. Dia merasa begitu lemah berhadapan dengan hawa nafsunya. Maka dengan kepala bersaput debu yang disujudkan dan wajah belepotan pasir yang disurukkan, dia mengerang lagi,
kumohon injaklah kepalaku!
Sayang, Bilal terus menggeleng dengan mata berkaca-kaca.
Peristiwa itu memang berawal dari kekesalan Abu Dzar pada Bilal. Dia merasa Bilal tak mengerjakan sebuah amanah dengan utuh, bahkan seakan membuat alasan untuk membenarkan dirinya sendiri. Abu Dzar kecewa dan, sayang, dia tak dapat menahan diri. Dari lisannya terlontar kata-kata kasar. Abu Dzar sempat berteriak melengking,
Hai anak budak hitam!
Rasulullah yang mendengar herdikan Abu Dzar pada Bilal itu memerah wajahnya. Dengan bergegas bagai petir menyambar, baginda menghampiri dan menegur Abu Dzar,
Engkau!
Sabdanya dengan telunjuk mengarah ke wajah Abu Dzar,
Sungguh dalam dirimu masih terdapat jahiliyyah!
Maka Abu Dzar yang dikejutkan hakikat dan disergap rasa bersalah itu serta merta bersujud dan memohon Bilal menginjak kepalanya. Berulang-ulang dia memohon. Tapi Bilal tetap tegak mematung. Dia marah, tapi juga haru.
Aku memaafkan Abu Dzar, Ya rasulallah. kata Bilal.
Dan biarlah urusan ini tersimpan di sisi Allah, menjadi kebaikan bagiku kelak.
Hati Abu Dzar rasanya perih mendengar itu. Alangkah ringan andai semua bisa ditebus di dunia. Alangkah tak nyaman menyelusuri sisa umur dengan rasa bersalah yang tak terlupakan. Demikianlah Abu Dzar, shahabat Rasulullah yang mulia. Adapun kita, dengan segala kelemahan dan kealpaan dalam menjaga hubungan dengan sesama, mungkin tak hanya satu jari yang harus ditelunjuki ke wajah kita. Lalu sebuah kesadaran menyentak,
Engkau!! Dalam dirimu masih terdapat jahiliyyah!!!
***********************************************************************
Kisah ini dipetik dari buku “Dalam Dekapan Ukhuwah – karya Salim A. Fillah.
Tapi bukan saya yang memetiknya. Tulisan asal adalah dari sini.
Definisi Jahiliyyah?
Dari nas-nas al-Qur`an dan Sunnah jelaslah bahwa setiap penyimpangan dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya, baik itu menyangkut Aqidah, ibadah, akhlak, mahupun amal adalah perbuatan Jahiliyyah.
Astaghfirullahal'azhim. Kerana kecewa dengan manusia, terdapat jahiliah dalam diriku. Tapi, bukankah aku juga punya sifat-sifat dan kesalahan lain yang jauh lebih buruk dan hina daripada itu?
Justeru, siapakah diriku wahai Tuhan?
Salam muhasabah sahabat...
Salam mujahadah juga...
bagi yang mengenali saya, mungkin tahu saya suka warna biru. Saya ingatkan saya dah bosan dengan biru, tapi rupa-rupanya saya tak boleh tinggalkan biru.. huhu.. anyway, colours is not everything. (maaf, x berkaitan dgn tajuk, tp mungkin, ada maksud tersirat?) ^_^
2 comments:
sgt terkesan dgn entry ni.. syukran, sya..
biru, ape mksd yg tersirat tu??
segala puji bagi Allah.. sy juga sgt terkesan dgn kisah di ats..
"mungkin". mungkin ada, mungkin x de.. lalala.. hehe
Post a Comment